Ketika publik Indonesia mulai berani menggugat proyek-proyek mangkrak seperti mobil Esemka atau mempertanyakan nasib pesawat N250, muncul pertanyaan menarik: adakah contoh serupa di luar negeri? Ternyata, gugatan terhadap proyek nasional yang gagal atau tak terealisasi bukanlah hal asing di berbagai belahan dunia. Beberapa negara maju pun pernah mengalaminya, bahkan sampai ke meja hijau.
Salah satu contoh paling mencolok datang dari Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an, proyek pembangunan pesawat supersonik Concorde rival versi AS bernama Boeing 2707 dibatalkan oleh pemerintah federal setelah menelan dana riset besar dari anggaran negara. Publik dan lembaga swadaya masyarakat di sana menuntut transparansi dana dan akuntabilitas pemerintah, meskipun tidak sampai dalam bentuk gugatan individual ke pengadilan.
Di Inggris, proyek Thames Garden Bridge menjadi simbol kegagalan rencana ambisius pemerintah kota London. Proyek jembatan pejalan kaki bernilai hampir 200 juta pound sterling itu dibatalkan sebelum pembangunan dimulai, setelah menghabiskan lebih dari 40 juta pound untuk biaya perencanaan dan konsultasi. Publik marah besar, dan LSM bernama The Good Law Project menggugat transparansi proyek ke pengadilan. Meskipun tidak menang secara langsung, gugatan ini memaksa pemerintah London mempublikasikan dokumen-dokumen penting proyek tersebut.
Contoh lain terjadi di Kanada dengan proyek Phoenix Pay System. Sistem pembayaran gaji nasional untuk pegawai negeri yang diluncurkan pada 2016 justru membuat ribuan PNS tidak menerima gaji mereka dengan benar. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan digaji nol rupiah atau berlipat-lipat tanpa dasar. Akibatnya, berbagai gugatan individu bermunculan terhadap pemerintah federal Kanada, memaksa negara tersebut membayar miliaran dolar dalam bentuk kompensasi dan koreksi sistem.
Sementara itu, di Jepang, proyek pembangunan pabrik tenaga nuklir Monju yang telah menelan biaya lebih dari USD 8 miliar dan tak pernah beroperasi secara penuh selama dua dekade, menimbulkan tekanan politik dan hukum. Kelompok warga mengajukan tuntutan kepada pemerintah dan pengelola proyek karena dinilai menyia-nyiakan uang publik. Proyek ini akhirnya resmi ditutup pada 2016 setelah menuai tekanan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan akademisi.
Gugatan terhadap proyek mangkrak juga terjadi di India. Proyek pembuatan mobil murah Tata Nano yang awalnya digadang sebagai "mobil rakyat" mendapat sorotan ketika gagal memenuhi ekspektasi pasar. Meski tidak digugat secara langsung oleh konsumen secara massal, pemerintah negara bagian Bengal Barat digugat karena pembebasan lahan besar-besaran yang dilakukan untuk pabrik Tata tanpa menghasilkan dampak ekonomi yang dijanjikan.
Kasus serupa juga muncul di Australia dalam proyek East West Link, jalan tol besar di Melbourne yang dibatalkan setelah pergantian pemerintahan. Warga, LSM, dan partai oposisi mendesak investigasi hukum karena proyek tersebut sudah menelan biaya ratusan juta dolar, bahkan sebelum dimulai. Meskipun tidak sampai tahap gugatan perdata oleh individu, tekanan publik membuat pemerintah akhirnya harus menyusun ulang sistem penganggaran proyek infrastruktur.
Apa yang bisa dipelajari dari kasus-kasus ini adalah bahwa negara-negara dengan tingkat demokrasi yang matang cenderung membuka ruang hukum dan partisipasi publik untuk mengkritisi proyek gagal. Gugatan tidak selalu harus menang di pengadilan, namun sering kali berhasil menekan negara untuk lebih transparan, hati-hati, dan akuntabel dalam merancang serta mengeksekusi proyek berskala besar.
Berbeda dengan proyek Esemka atau N250 yang dikembangkan dengan semangat nasionalisme, banyak proyek di luar negeri melibatkan kontrak formal, transparansi anggaran, dan evaluasi publik. Oleh karena itu, ketika proyek tersebut gagal, masyarakat punya landasan hukum dan administrasi yang jelas untuk menggugat. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk menata ulang tata kelola proyek strategis agar tidak hanya menjadi alat politik sesaat.
Tentu saja, tidak semua gugatan berujung pada kemenangan publik. Banyak pula yang ditolak oleh pengadilan karena kurang bukti atau tidak memenuhi unsur wanprestasi. Namun, yang lebih penting dari hasil gugatan adalah pesan kuat bahwa publik tidak lagi tinggal diam. Kesadaran masyarakat terhadap hak atas kebijakan publik terus tumbuh.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari contoh-contoh tersebut. Bahwa gugatan terhadap proyek mangkrak bukan semata bentuk pembangkangan, tapi mekanisme demokrasi untuk menjaga integritas pembangunan. Proyek Esemka, N250, atau bahkan megaproyek lainnya harus memiliki pijakan hukum dan manajemen yang jelas, agar tidak sekadar menjadi janji politik belaka.
Ke depan, partisipasi publik dalam pengawasan proyek strategis harus lebih difasilitasi. Pemerintah dan lembaga negara wajib memastikan bahwa proyek yang dijanjikan kepada rakyat benar-benar berjalan, atau setidaknya memberikan penjelasan terbuka jika terpaksa dihentikan. Ini penting agar kepercayaan publik terhadap negara tidak luntur.
Gugatan warga Solo terhadap mobil Esemka bisa jadi awal dari kebangkitan kesadaran hukum masyarakat. Sama seperti warga London, Tokyo, atau Melbourne, masyarakat Indonesia kini mulai menyadari bahwa mereka punya hak bertanya dan bahkan menuntut jika merasa dijanjikan sesuatu yang tak ditepati. Demokrasi tak hanya tentang memilih, tapi juga berani menggugat saat hak dilanggar.
0 Comments:
Post a Comment