Isu gugatan terhadap proyek nasional kembali mengemuka setelah warga Solo menggugat Presiden ke-7 RI Joko Widodo terkait mobil Esemka. Kali ini, sorotan publik mengarah pada proyek pesawat N250 yang digagas oleh mantan Presiden BJ Habibie melalui Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kini menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Pertanyaan yang muncul: apakah proyek ini juga layak digugat seperti Esemka?
Pesawat N250 yang pertama kali diperkenalkan pada 10 Agustus 1995 sempat menjadi simbol kebangkitan teknologi Indonesia. Digadang-gadang sebagai pesawat turboprop pertama di dunia yang menggunakan teknologi fly-by-wire, N250 menjadi harapan besar bangsa di tengah ketertinggalan teknologi dari negara maju. Namun, harapan itu perlahan memudar ketika krisis moneter 1998 memukul habis sektor industri, termasuk IPTN.
Pemerintah saat itu terpaksa mengambil langkah pahit. Lewat desakan IMF, IPTN harus dihentikan pengembangannya dan seluruh proyek besar seperti N250 dibekukan. Sejak saat itu, pesawat kebanggaan bangsa itu hanya menjadi cerita sejarah, tersimpan dalam hanggar dan sesekali dipajang sebagai simbol kejayaan yang tertunda. Belum ada kepastian apakah proyek ini akan kembali diteruskan secara penuh.
Pertanyaan penting pun muncul: apakah masyarakat, seperti halnya pada kasus Esemka, bisa menempuh jalur hukum dan menggugat pemerintah atau PT DI karena gagal merealisasikan janji industrialisasi pesawat N250? Secara hukum, tantangan gugatan ini serupa dengan kasus Esemka, yaitu pada bukti adanya wanprestasi atau janji mengikat yang dilanggar oleh pihak yang digugat.
Namun, secara substansi, proyek N250 tidak pernah dijual sebagai produk siap beli kepada publik. Tidak ada kontrak jual-beli atau iming-iming langsung kepada masyarakat luas bahwa pesawat ini akan tersedia dalam waktu tertentu. Proyek ini murni merupakan bagian dari program strategis industri nasional yang sangat dipengaruhi oleh dinamika global dan kebijakan negara saat itu.
Meski demikian, secara moral dan politis, publik tetap memiliki ruang untuk mempertanyakan keberlanjutan proyek N250. Apalagi PT DI masih berdiri dan aktif memproduksi berbagai jenis pesawat, baik untuk kebutuhan militer maupun sipil. Publik bertanya-tanya, mengapa produk seambisius N250 yang sempat melewati tahap uji coba dan sertifikasi awal justru dibiarkan begitu saja.
Berbeda dengan Esemka yang langsung diklaim sebagai kendaraan rakyat dan sempat dijual secara terbatas, N250 sejak awal dikembangkan untuk kepentingan strategis nasional dan tidak pernah masuk ke pasar komersial. Ini menjadi pembeda utama dalam logika hukum. Namun tidak menutup kemungkinan, jika ada warga yang merasa dirugikan karena telah berinvestasi atau menyumbang secara spesifik untuk proyek tersebut, jalur hukum tetap terbuka.
Dalam konteks politik pembangunan, gugatan terhadap N250 bisa menjadi momentum untuk mengevaluasi keseriusan negara dalam mengembangkan teknologi strategis. Jika Esemka dianggap sebagai bentuk ingkar janji karena tidak diproduksi massal, maka N250 pun pantas dipertanyakan kelanjutannya, mengingat potensi besar yang dimilikinya dan kebanggaan nasional yang telah ditanamkan bertahun-tahun.
Sebagian kalangan menilai bahwa proyek N250 lebih layak untuk dikritisi ketimbang digugat. Kritik ini diarahkan pada pemerintah, baik yang saat itu berkuasa maupun sesudahnya, karena gagal mengamankan proyek penting ini dari intervensi global. Sementara sebagian lain berpendapat, gugatan bisa menjadi pecut untuk membangkitkan kembali komitmen terhadap industri dirgantara Indonesia.
PT DI sendiri sejauh ini belum menyatakan secara eksplisit apakah proyek N250 benar-benar dihentikan permanen atau hanya dibekukan. Informasi terakhir menyebutkan bahwa desain dan prototipe N250 masih disimpan dengan rapi dan suatu saat bisa dihidupkan kembali, tergantung pada arah kebijakan nasional dan kesiapan industri dalam negeri.
Dalam perspektif ekonomi, kegagalan melanjutkan proyek N250 dianggap sebagai kehilangan peluang besar. Ketika banyak negara berkembang berlomba membangun industri penerbangan sendiri, Indonesia justru membekukan proyek paling menjanjikannya. Hal ini menjadi ironi, mengingat BJ Habibie telah memberikan warisan intelektual dan teknologi luar biasa yang kini nyaris terlupakan.
Andai saja pemerintah atau PT DI berkomitmen melanjutkan proyek N250, maka Indonesia bisa menjadi salah satu pemain besar di kawasan Asia dalam industri pesawat kelas menengah. Kini, dominasi pasar telah direbut negara lain, dan Indonesia kembali menjadi konsumen, bukan produsen.
Gugatan terhadap N250, meskipun sulit dibenarkan dari sisi wanprestasi perdata, tetap bisa dijadikan instrumen tekanan moral. Ini penting agar pemerintah tidak lagi sekadar menjadikan proyek teknologi sebagai alat pencitraan semata, melainkan benar-benar membangun fondasi industri strategis secara konsisten dan berkelanjutan.
Jika warga merasa dikhianati oleh janji-janji politik yang tidak ditepati, seperti dalam kasus Esemka, maka kekecewaan atas N250 bukan hanya bersifat personal, tetapi kolektif sebagai bangsa. Kegagalan merawat proyek ini bukan saja soal teknologi, tetapi juga tentang cara bangsa ini memperlakukan warisan intelektualnya.
Gugatan terhadap proyek mangkrak seperti N250 seharusnya menjadi alarm keras bahwa publik kini mulai sadar akan hak dan ekspektasinya. Bahwa janji negara bukan sekadar dokumen, melainkan kontrak sosial yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan.
Namun, pada akhirnya, apakah layak menggugat PT DI atau negara terkait N250? Jawabannya kembali pada perspektif hukum dan politik. Secara hukum mungkin tidak sekuat kasus perdata biasa. Tetapi secara moral, publik punya hak bertanya: mengapa mimpi besar bangsa itu dibiarkan mati? Dan apakah kita akan mengulang kesalahan yang sama lagi?
0 Comments:
Post a Comment